JAKARTA, LIPO - Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin sepakat jika kepatuhan pajak dijadikan salah satu syarat untuk menjadi salah satu syarat Calon Presiden (Capres) dan Wakil Presiden (Cawapres) pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Apalagi, belakangan fenomena pejabat tak patuh pajak mengemuka setelah adanya kasus yang menimpa salah seorang pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Sehingga, fenomena tersebut menjadi pertanyaan masyarakat tentang perlunya kepatuhan pajak sebagai salah satu syarat untuk menjadi Capres dan Cawapres.
“Saya kira itu sudah jelas, justru Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) itu menjadi bagian yang harus dilaksanakan sebenarnya dan kewajiban pajak itu juga jangan sampai (tidak dilakukan),” tegas Wapres dikutip dari keterangan resminya, Selasa (14/3/2023).
Terlebih, isu pajak saat ini tengah menjadi pembicaraan publik, sehingga momennya tepat apabila syarat kepatuhan pajak ini diterapkan untuk mendongkrak peningkatan pemasukan pajak.
“Dengan munculnya pembicaraan masalah pajak ini, diharapkan saja (penerimaan pajak) lebih baik dari (tahun) kemarin, dan Pemilu jangan sampai menjadi penyebab berkurangnya (penerimaan) pajak,” ungkapnya.
Dengan demikian, kata Wapres, berbagai program pemerintah khususnya yang dibiayai dari hasil pajak juga akan terus berjalan.
Kemudian pajak usaha kerajinan yang disebut paure. Pajak ini dikenakan pada kelompok pengrajin yang meliputi kelompok pande dan misra. Pande adalah pengrajin benda-benda yang terbuat dari logam.
Misra adalah sekelompok pengrajin bukan barang-barang logam, termasuk antara lain pembuat tenun cadar, pengrajin anyaman, dan pembuat minyak jarak.
Kemudian pajak profesi menjadi jenis pajak yang ditarik oleh pemerintah. Perkembangan jenis profesi menjadikan pemerintahan Majapahit menarik pajak dari mereka. Apalagi adanya spesialisasi jenis pekerjaan sebagai mata pencaharian hidup.
Selain petani dan nelayan, masih dikenal adanya pedagang, pengrajin, penjual jasa misalnya abañol, aringgit, matapukan, sena mukha, dan banyaga. Orang-orang yang disebut terakhir termasuk di dalam warga kilalan, yaitu orang yang dinikmati hasilnya, maksudnya adalah orang yang dikenai pajak atau wajib pajak.
Secara khusus tidak diketahui bentuk pungutannya dan besar pungutannya yang dikenakan pada warga kilalan. Di dalam prasasti hanya ditemukan satuan yang mengikuti sebutannya ketika diadakan pembatasan di daerah stma, misalnya padabt disebut dengan satuan tangkep, tangkilan atau kilan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pajak dipungut pada tiap unit padahi.
Pajak keempat yang ditarik yakni pajak orang asing yang tinggal di wilayah Kerajaan Majapahit. Terdapat beberapa orang asing yang berasal dari berbagai negara, misalnya aryya, bablara, bebel, campa, cina, karnntaka, kling, kair, mambang, mandikira, remin, dan singhala. Mereka ini semua termasuk yang dikenai pajak, karena termasuk dalam warga kilalan.
Di dalam prasasti pajak orang asing disebut kiteran. Data tentang hal itu disebut dalam prasasti Wurudu Kidul tahun 922 M. Prasasti ini mengisahkan tentang proses peradilan dalam kasus kewarganegaraan seseorang.
Sang Dhanadi seorang warga Wurudu Kidul disangka orang Khmer, tetapi setelah melalui proses peradilan tuduhan itu tidak terbukti, maka ia kemudian menolak kiteran.
Jenis terakhir yang ditarik pajak yakni pajak eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA). Di mana di antara jenis usaha yang dikenai pajak adalah usaha pengeksplotasian sumber daya alam secara langsung.
Jenis usaha itu antara lain manangkeb, makala-kala manuk (berburu unggas), mamukat wungkudu, dan pemanfaatan sumber daya kelautan seperti memancing dan menjala ikan serta pengusahaan garam.
Pungutan pajak terhadap usaha mengeksploitasi sumber daya kelautan diketahui melalui pembatasan usaha pemilikan kapal penangkap ikan (biltran), pukat maupun jala, seperti disebut dalam prasasti Wimalasama. Akan tetapi, dari prasasti tidak dapat diketahui besarnya pungutan pajak dan waktu pemungutannya.
Namun demikian, dari sudut lingkungan ketetapan itu dapat dianggap sebagai solusi terhadap pencegahan kerusakan lingkungan yang dieksploitasi secara berlebihan. Di dalam daftar manilala drabya haji juga ada sebutan padahut pang-pang yang mungkin sekali berarti petugas denda bagi penebang pohon secara sembarangan.(lipo*3)
Sumber: okezone.com