KWP dan Biro Humas MPR RI Kaji 'Untung' Sistem Pemilu 2024

KWP dan Biro Humas MPR RI Kaji 'Untung' Sistem Pemilu 2024

LIPO - Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Humas Dan Pemberitaan MPR RI menggelar diskusi Empat Pilar dengan tema "Sistem Pemilu dan Masa Depan Demokrasi Pancasila" yang dilaksanakan Media Center MPR/DPR/   DPD RI, Gedung Nusantara III Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (22/02/23). 

 

Dalam diskusi itu hadir sebagai narasumber antara lain, Anggota MPR RI F-Golkar Dave Akbarshah Fikarno, Anggota MPR RI F-Demokrat Wahyu Sanjaya dan Pengamat Politik Ujang Komarudin. Sementara Samrut Lellosima dari Jurnas.com, bertindak sebagai moderator. 

 

Diskusi tersebut cenderung lebih fokus membahas sistem pemilu pada 2024 nanti. Meskipun mungkin ada perbedaan pandangan, peserta diskusi sepakat bahwa tidak ada sistem politik yang sempurna, tetap ada plus dan minusnya. 

 

Sebagaimana dipaparkan Dave Akbarshah Fikarno, dengan sistem politik yang sekarang ini proporsional terbuka, pemilihan kepala pemerintahan pusat hingga daerah, hingga desa secara langsung, akan memberikan otoritas ataupun memberikan amanah, memberikan kesempatan bagi rakyat untuk menentukan siapa yang rakyat inginkan, baik menjadi perwakilannya dari tingkat ke kabupaten kota hingga DPD dan DPR RI.

 

"Kesempatan itu yang berulang kali saya ucapkan, itu "jangan sampai dilucuti lagi", kita pernah mengalami sistem proporsional tertutup dari mulai pemilu pertama 1955 hingga pemilu orde Baru terakhir tahun 1997 itu proporsional tertutup dan 1999 pun juga masih proporsional tertutup," kata Dave. 

 

Dikatakan Dave, 2004 baru pertama kali semi terbuka, karena masih nomor urut, akan tetapi yang mencukupi BPP bisa langsung jadi.

 

"Benar-benar proporsional terbuka itu baru berjalan di 2009 dan 2014, 2019 kita menjalankan sistem pemilu yang secara bersamaan pilpres dan pileg," ulasnya. 

 

"Ini adalah suatu kemajuan dari sistem demokrasi kita, ini yang benar-benar memberikan kesempatan dan juga melakukan penghematan pada anggaran negara, untuk melakukan sistem pemilu tersebut, rakyat bisa memilih, rakyat bisa menentukan calon, dengan melakukan efisiensi daripada keuangan negara," sambungnya. 

 

Sistem proporsional terbuka jangan sampai hanya untuk kepentingan elite oligarki, penguasa maupun partai. 

 

"Sistem yang sudah bagus ini itu dirusak, dikembalikan, itu yang terus kita dari Golkar dan kita juga berhasil menggalang dari 7 partai parlemen lainnya untuk tetap menjaga sistem ini," kata Dave. 

 

Kalau ditanya apakah menguntungkan apa tidak menguntungkan bagi Golkar, dikatakan Dave, bagi Golkar tidak masalah mau terbuka atau tertutup. 

 

"Dari pemilu 1971 hingga 1997, 1999 bahkan sampai 2004, sistem proporsional tertutup itu Golkar tetap survive, nomor 1 Nomor 2 gitu, nggak masalah, akan tetapi kita tidak berpikir untuk kepentingan pribadi partai, kita tak berpikir untuk kepentingan elit saja," terangnya. 

 

"Saya tiga kali ikut Pemilu, pemilu tahun 2009, 2014 dan 2019, 2014 dan 2019 Alhamdulillah saya nomor urut 1,  pemilu 1999 syukur alhamdulillah saya nomor 12, Jadi kalau misalnya nih Pemilu insyaallah dilaksanakan 14 Februari 2024, semestinya ya saya tetap nomor satu lagi kecuali ada perubahan kebijakan publik, nah kalau untuk nomor satu, ya saya tetap tenang dong, saya enak kan nggak perlu khawatir, akan tapi bukan itu yang saya mau, kan bukan itu yang kita ingin kejar, yang kita ingin kejar itu adalah masyarakat tetap memiliki hak untuk memilih, masyarakat tetap untuk menyampaikan pendapatnya dan juga mendorong menjadi sistem proporsional tertutup itu bisa dilupakan, bisa dilupakan turun ke bawah, rese-reses.

Pasti anggota-anggota Ya udah ngapain capek-capek nunggu di ujung aja, toh kan nanti nomor urut," sambungnya

 

Dikatakan Dave, dengan sistem proporsional terbuka, masyarakat harus mengenal figur yang dipilihnya, dan masyarakat harus merasakan manfaat kehadiran kita di DPR itu apa. 

 

"Nah itulah itulah salah satu fungsi utama dari seorang anggota parlemen, dimana fungsi anggota parlemen itu kan awalnya tiga, fungsi legislasi, fungsi anggaran sama fungsi pengawasan,  nah tapi ada fungsi keempat yaitu fungsi aspirasi," terang Dave. 

 

Namun, misalnya bila kembali proporsional tertutup, sudah tidak lagi mencoblos nama, fungsi aspirasinya itu sudah otomatis akan berkurang bahkan hilang.

 

"Ya kalau begitu kita ngapain capek-capek turun ke bawah, tinggal tunggu partai yang nentuin, ya biar saja,  jadi akhirnya partai yang harus bekerja,  partai yang harus turun, akhirnya akan bertumpu pada satu, dua figur," sebutnya. 

 

"Partai kan masih akhirnya bertumpu pada satu, dua figur, Ketua umum kah ataupun juga siapapun figur yang partai jual, nah akhirnya semuanya berlari kesana, tidak lagi berlari kepada anggota parlemen, jadi kontak kemasyarakatan pun akan semakin lama, semakin hilang, semakin berkurang. jadi itulah yang harus kita "patahkan" dan harus kita "putus", jangan sampai demokrasi diberangus, jangan sampai demokrasi itu diputus, dan kedua jangan sampai fungsi aspirasi ini akhirnya lambat laun hilang sehingga tak ada lagi  pendekatan, pengenalan kepada masyarakat, nggak perlu lagi seorang anggota DPR capek-capek lagi turun kebawah," pungkas Dave. 

 

Setali tiga uang, Anggota MPR RI F-Demokrat Wahyu Sanjaya, turut mengamini argumen yang disampaikan Dave Akbarshah Fikarno. 

 

"Memang apa yang dikatakan dinda Dave tadi sudah benar, jadi kalau dibilang sistem pemilu itu sempurna ya nggak sempurna, kalau yang sempurna pasti al-qur'an dan hadits," ucap Wahyu. 

 

Menurut Wahyu, sistem pemilu sekarang (proporsional terbuka) merupakan yang terbaik dibuktikan meningkatnya partisipasi masyarakat. 

 

"Kita melihat apa yang terjadi selama ini sudah cukup baik, tingkat partisipasi pemilih selama ini terbaiklah di dunia ini dan itu karena rakyat ingin melihat bahwasanya calon yang mereka dukung itu bisa jadi," kata Wahyu. 

 

Bila sistem pemilu yang sekarang dikembalikan tertutup dimana kita hanya mencoblos logo partai, kesempatan bagi rakyat untuk mengenal lebih jauh calonnya itu menjadi kurang bagus, tidak sesuai yang terjadi selama ini. 

 

"Kita kan sudah capek kemarin, karena reformasi, masa kita mau balik lagi ke sistem tertutup, saya juga bingung sebenarnya," jelasnya. 

 

Perihal masalah regulasi, bila ada yang menggugat di MK, dikata Wahyu, itu adalah domainnya di DPR, bukan di tempat lain.

 

"Jadi tidak ada kalau menurut kami yang bertentangan dengan pancasila, dan UUD 1945, itu tidak ada, tetapi yang namanya sekarang politis kita nggak tahu, Wallahu A'lam, kenapa bisa sampai gaduh sampai ada gugatan ke MK seperti saat ini, hanya itu yang bisa saya jelaskan," pungkasnya. (*1) 

Ikuti LIPO Online di GoogleNews

Berita Lainnya

Index