Ironis!!! Disaat Kejagung Bongkar Perkara Duta Palma, Kementrian LHK Malah Sibuk Mau Ampuni Perkebunan & Tambang Ilegal, Ada Apa?

Ironis!!! Disaat Kejagung Bongkar Perkara Duta Palma, Kementrian LHK Malah Sibuk Mau Ampuni Perkebunan & Tambang Ilegal, Ada Apa?
Salah Satu Alat Berat Yang Diamankan Jajaran DLHK Riau di Kawasan Hutan Lindung/ist

LIPO - Kejagung Agung RI saat ini sedang giat-giatnya memeberengus pelaku dugaan tindak pidana pada kasus perkebunan ilegal. Salah satu kasus yang disebut-sebut kasus terbesar sepanjang sejarah dibongkar Kejaksaan Agung, adalah kasus Duta Palma Group yang menyeret SD, RTR, dan DFS menjadi tersangka.

Langkah berani kejagung 'menggigit' perusahaan kelas kakap ini menuai apresiasi dari masyarakat. Bahkan Presiden RI, Joko Widodo, menyebut bahwa Kejaksaan sedang unjuk "taring".

Sejauh ini, dalam perkara Duta Palma Group, Penyidik Kejagung telah melakukan penyitaan dan penyegelan aset Duta Palma Group disejumlah wilyah di Indonesia. Berdasarkan data yang dirangkum liputanoke.com, tim penyidik Kejagung telah melakukan giat penyitaan di Jakarta, Bali, Riau, Sumut, Kalbar, dan Jambi.

Namun sangat ironis, ditengah-tengah gebrakan yang dilakukan Kejaksaan mengusut perkara yang berkaitan dengan perkebunan yang diduga ilegal tersebut, jajaran Kementerian LHK malah ingin meberikan "ampunan" para pelaku penjarah hutan dan tambang ilegal dengan memakai skema UU Cipta Kerja.

Apa yang disampaikan Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono, di dalam rapat panja Komisi IV DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, baru-baru ini, tentu sangat menghentakkan publik.

Di Riau, sikap yang ditunjukan jajaran Kementrian LHK ini mendapat kecaman keras, tidak hanya dari aktivis lingkungan, mahasiswa, tapi juga tokoh masyarakat adat. Secara umum, mereka menilai keinginan Kementrian yang dipimpin Siti Nurbaya tersebut jauh dari rasa keadilan. Tidak sedikitpun berpihak kepada masyakarat, hanya menguntungkan para "cukong".

Respon juga datang dari Ketua Umum Dewan Pimpinan Agung (DPA) Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Tan Seri Syahril Abubakar. Ia menegaskan menolak keras rencana tersebut.

"LAM yang saya pimpin menolak dengan keras kebijakan yang diwacanakan Kementerian LHK untuk memberikan pengampunan kepada pemilik kebun yang masuk dalam kategori kebun ilegal. Kita sependapat dengan kawan - kawan aktivis lain. UU Omnibus law sudah ditolak oleh MK untuk diperbaiki, karena sangat bertentangan dengan UUD maupun filosofi Pancasila. Maka dengan adanya keinginan memberikan pengampunan perusahaan yang membabat hutan secara ilegal, itu sangat tidak adil dan melukai rasa keadilan khususnya masyarakat adat," tegas Syahril, Ahad (28/8/2022).

Ia mengatakan, dari 1,4 juta hektar tersebut, tidak kurang dari 1 juta hektarnya berada di tanah ulayat. Sesudah dikuras perusahaan besar selama lebih kurang 30 tahun dan masyarakat adat tidak dapat apa- apa, tentu tidak adil.

Maka dari itu, kata Syahril, harusnya kebun ilegal tersebut bukan dikembalikan ke perusahaan, namun harus dikembalikan ke masyarakat adat.

"Perusahaan wajib membayar denda kepada negara selama berapa tahun mereka menikmati itu, dan ke depan harus dikembalikan ke masyarakat. Itu yang harus didorong oleh pemerintah, berapa rinciannya yang berada di atas tanah ulayat, itu yang harus dikembalikan ke masyarakat adat. Baru nantinya masyarakat adat bekerjasama dengan perusahaan, itu baru adil," ucapnya lagi.

Sebelumnya Manager Engagement & Outreach, Pantau Gambut, Romes Irawan Putra, SH, MH, turut menolak langkah pengampunan terhadap perkebunan dan tambang ilegal tersebut.

Mantan Direktur Kaliptra Andalas, Romes Irawan Putra, SH.MH, tersebut mengatakan, langkah pemerintah mengampuni para pelaku/usaha ilegal dinilai telah mengangkangi beberapa peraturan dan perundangan yang ada. Menurutnya, semestinya penguasaan lahan secara ilegal sudah masuk ranah pidana.

"Makanya gawatnya UU Ciptaker itu salah satunya, adalah seperti ingin mengakomodir kejahatan-kejahatan lingkungan yang sudah terjadi selama ini. Sehingga hak-hak masyarakat dalam atau disekitar kawsan tetap terabaikan. Artinya siapa yang kuat, siapa yang punya modal, siapa yang bisa bayar denda, diuntungkan. Sementara masyarakat yang berada atau disekitar kawasan itu tidak mendapatkan apapun. Orang-orang yang berkuasalah yang bisa, itu yang menjadi catatan bagi kita dalam proses UU Ciptaker," Kata Romes kepada liputanoke.com, pada Sabtu (27/08/22).

Bila pemerintah tetap ngotot mengapuni dengan skema menggunakan Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, hanya memberlakukan sanksi administratif tanpa sanksi pidana, maka kejahatan perambahan hutan akan semakin marak. Bisa melakukan usaha ilegal dulu nanti juga bakal diampuni.

"Karena dalam proses penegakkan hukum dalam KLHK menyatakan bahwa pidana itu tidak ada sanksi kurungan, nah itu yang membahayakan juga. Gawat kan?, hanya sanksi administrasi. Itu skemanya, perlakuan sama baik itu kawasan, konversi maupun hutan lindung," Ucapnya.

Menanggapi ide pemerintah tersebut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, juga menyuarakan penolakan. Karena Walhi Riau menilai, selain bertentangan dengan regulasi yang ada, rencana pengampunan terhadap lahan dan tambang ilegal tersebut bertentangan dengan semangat membangun lingkungan yang berkelanjutan dalam upaya pemanasan global yang menjadi komitmen Indonesia dan seluruh negara di dunia.

Manager Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat Walhi Riau, Fandi Rahman, juga menyatakan, pengunaan pasal 110A dan pasal 110B Nomor 11 tahun 2020 UU Ciptaker untuk mengampuni pelaku perambahan hutan juga tidak tepat, dengan alasan karena pasal tersebut merupakan bagian pasal yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia juga mengungkapkan, berdasarkan investigasi dan kajian Walhi dengan mengambil sampel di 4 perusshaan yang melakukan penggunaan hutan ilegal terdapat konflik dengan masyarakat tempatan dan adat, juga termasuk dengan satwa.

"Umumnya juga berada di lahan gambut, bahkan ada yang di pinggir sungai. Sangat membahayakan. Termasuk potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Termasuk juga konflik dengan masyarakat adat juga satwa. Bila diampuni, sama saja pemerintah melanggengkan perusakan hutan," Kata Fandi kepada wartawan.

Sebelumnya diberitakan, bahwa pemerintah akan mengampuni keberadaan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan di dua provinsi itu akan diselesaikan menggunakan Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Pasal 110A menyatakan bahwa perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan, tapi memiliki Perizinan Berusaha, maka dapat terus berkegiatan asalkan melengkapi semua persyaratan dalam kurun waktu maksimal tiga tahun.

Pernyataan itu diungkapkan Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono, di dalam rapat panja Komisi IV DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, baru-baru ini.

Bambang mengatakan, denda yang dijatuhkan kepada pelaku menggunakan Pasal 110 B itu sekitar Rp 10 juta per hektare. Nilai denda itu lalu dikalikan dengan jangka waktu penggunaan hutan tanpa izin.

"Katakanlah 1 juta hektare dikali Rp 10 juta dan dikali jangka waktu pakai 5 tahun, ya dendanya sekitar Rp 50 triliun," Jelas Bambang. (*1)

 

Ikuti LIPO Online di GoogleNews

Berita Lainnya

Index