LIPO - Bila tidak ada perubahan, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 tetap akan dilaksanakan sesuai tahapan yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Sejumlah protokol kesehatanpun akan diberlakukan mengingat pelaksanaan pilkada dalam situasi pandemi corona.
Walaupun protokol kesehatan cukup ketat diberlakukan, tetapi potensi abai terhadap protokol kesehatan ini berpeluang terjadi, karena memungkinkan terjadinya kerumunan massa dititik-titik tertentu. Sehingga penularan virus corona berpeluan terus terjadi.
Bila dilihat data terakhir pada Jumat, Tanggal 28 Agustus 2020, tingkat penambahan kasus positif masih tergolong tinggi. Secara Nasional tejadi penambahan 3.003 kasus, sehingga total menjadi 165.887 kasus. Sementara, untuk di Provinsi Riau penambahan kasus positif terus meloncak tajam beberapa hari terakhir sehinga saat ini totalnya menjadi 1.526 kasus.
Melihat kondisi ini tidak ada satu pun yang dapat memastikan kapan pandemi ini akan berakhir. Dan tidak ada satupun yang bisa menjamin bebas dari paparan virus mematikan ini. Sehingga boleh dikatakan pilkada nanti dibayang-bayangi kematian.
Beberapa waktu yang lalu, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pernah merinci jumlah daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak 2020 sebanyak 261 daerah. 40 diantaranya yang melaksanakan pilkada serentak masuk dalam zona penyebaran virus corona, 99 kabupaten atau kota lainnya masuk di zona oranye, 72 di zona kuning, dan 43 berada di zona hijau penyebaran Covid-19.
Dikutip dari laman CNN Indonesia yang dilansir repubilka online, pilkada di tengah wabah memang tidak sesuai dengan kondisi saat ini dikarenakan dana yang diluncurkan juga terbilang banyak. Bahkan bala bantuan juga masih banyak yang tidak tepat sasaran. Diketahui KPU mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp 4,7 triliun, DKPP sebesar Rp 39 miliar, dan Bawaslu sebesar Rp 478 miliar.
Kemudian, persiapan pelaksanaan Pilkada di masa pandemi dinilai juga belum matang, melihat persiapannya yang singkat dan terburu-buru. Juga tidak menjadikan pembenaran Pilkada 2020 hanya sebatas mengisi kekosongan kursi.
Bahkan kepercayaan publik terhadap partai politik berada pada titik nadir. Disebabkan praktik korupsi di dalam partai politik kian menjadi dan merupakan hal yang lumrah. Di mana semua itu berawal dari upeti yang terjadi saat pilkada maupun pilpres.
Dalam sistem demokrasi, menempatkan kekuasaan di tangan rakyat. Calon penguasa mendapatkan modal besar dari pengusaha untuk berkuasa. Setelah penguasa yang didukung pengusaha sukses menjadi penguasa, maka pengusaha dengan mudah mendapatkan konsesi dalam berbagai kepentingan terutama menjalankan berbagai proyek. Begitulah mekanisme transaksi-transaksi mutualisme politik yang terjadi antarberbagai kekuatan dalam sistem demokrasi.
Seharusnya pemerintah menyadari bahwa Pilkada bukan isu utama yang menjadi perhatian publik saat ini. Maka kebijakan Negara di masa wabah semestinya berorientasi tertinggi menyelamatkan nyawa dan menghentikan kesengsaraan orang yang sakit maupun semua pihak yang terdampak. Bukan mengejar ‘maslahat’ pertumbuhan ekonomi, apalagi bila alasan itu terbukti ditunggangi nafsu kerakusan segelintir elite kapitalistik untuk mengisi
kekosongan jabatan. Wallahu’alam bishawab.
Keputusan itu diberlakukan seiring dengan dikeluarkannya Peraturan KPU (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020 mengenai perubahan ketiga atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pilkada Tahun 2020. (*1)