Jokowi Jujur Tidak Netral, Efriza: Ragu Ganjar Menang dan Picu Konflik Iklim Politik Pragmatis

Selasa, 30 Mei 2023 | 13:34:25 WIB
Efriza/F: LIPO

 

LIPO - Presiden Joko Widodo menyatakan jika ia takkan netral dalam pilpres 2024 mendatang. Hal ini ia ungkapkan saat pertemuan dengan pimpinan media massa saat di Istana Merdeka pada Senin (29/5/2023).

"Saya harus cawe-cawe," kata Jokowi ketika berbincang-bincang dengan para pemimpin media massa di Istana Merdeka, Senin (29/5/2023). 

Pernyataan ceplas ceplos Jokowi ini dinilai kurang patut dinyatakan seorang Kepala Negara yang seharusnya netral. Kritikan pun disampaikan oleh Efriza, pengamat politik dari Citra Institute kepada liputanoke.com

"Posisi pemerintah semestinya turut mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang adil, bukan malah bersikap tak netral, maupun cawe-cawe. Jika Pemerintah tidak netral yang dikhawatirkan akan mengganggu institusi lembaga penyelenggara pemilu, pemerintah berpotensi mengerecokinya. Jika ini yang terjadi  pemerintah sudah melakukan tindakan yang tidak demokratis," ujarnya, Selasa (30/5/2023).

Ia melihat jika Presiden telah menyatakan dirinya tidak netral, maka potensi konflik dapat saja akan menguat, apalagi di tengah iklim pragmatisme politik masih kuat. Ketidakpercayaan atas hasil pemilu seperti tinggal menunggu saja untuk meledak.

"Sangat miris pernyataan Presiden Jokowi, apalagi sebelumnya ia telah membantah tidak "cawe-cawe" soal Pilpres, ini menunjukkan pribadi presiden bukan saja tidak netral tetapi juga plin-plan. Kata tidak netral itu tak bisa dibungkus dengan persepsi untuk kebaikan, utamanya dalam politik  Kalimat itu menunjukkan adanya kepentingan politik, bukan sekadar untuk bangsa dan negara tetapi untuk pribadi dan kelompoknya," kritiknya.

Semestinya Jokowi, sangat disayangkan, ia padahal bisa memilih kalimat yang lebih bijak, seperti:  Pemerintah akan Mengawasi Proses Penyelenggaraan Pemilu.

"Ya sepatutnya pemerintah memang netral. Tak perlu khawatir akan pemilu ke depan. Rakyat Indonesia sudah terbiasa menjalankan proses pemilu, rakyat juga tidak menginginkan chaos dari hasil pemilu," tegas penulis buku politik ini.

Dengan pemerintah menyatakan dirinya akan tidak netral malah dapat memicu kekecewaan masyarakat. Sikap apatis masyarakat terhadap pemilu dapat semakin menguat. Ini blunder, kesalahan berucap seorang presiden, Presiden salah memilih kata. Mungkin saja niatnya baik, tetapi Presiden Jokowi tidak dapat memilih kata yang bijak, yang pas, malah menggunakan kata-kata yang konotasi negatif, membangkitkan kekecewaan, kata yang dapat memicu kemarahan, protes, dan sebagainya.

"Komunikasi yang disampaikan Presiden Jokowi seperti memberikan kesan bahwa ia tidak mempercayai demokrasi, tidak mempercayai masyarakat dalam memilih. Semestinya barkan kompetisi berjalan dengan baik, soal melanjutkan kebijakan itu kan dapat diselesaikan melalui lobby," terangnya. 

Diyakini pemenangnya pun jika bukan dari pihak pemerintah juga tak akan serampangan membuang semua kebijakan yang sedang berproses, berjalan. 

Para capres juga akan bijak dalam bersikap, mereka juga akan memberikan apresiasi atas kinerja pemerintahan saat ini. Proses transisi diyakini juga akan berjalan baik, bukankah pernah terjadi SBY dan PD sebagai pemerintah dikalahkan oleh oposisi PDIP tetapi transisi dapat berjalan baik. 

"Semestinya pendidikan politik, etika berpolitik yang santun, lebih ditonjolkan bukan pragmatisme politik yang ditinggikan. Kekhawatiran seperti sedang diciptakan, ini namanya menjerumuskan rakyat, juga memberi kesan rakyat tidak becus memilih jika pemerintah netral makanya rakyat perlu dituntun dengan ketidaknetralan partai Pemerintahan.

Pernyataan tidak netral, tentu saja akan membawa kepada realita bak model Orde Baru. Semestinya, cukup 2020 Presiden Jokowi sudah menjadi aktor dari kemunduran demokrasi. Setelah hasil demokrasi Indonesia sudah membaik, semestinya tak perlu menghadirkan kembali citra negatif. Sebab, yang dikhawatirkan adalah presiden Jokowi malah disematkan sebagai sosok Pemimpin Kemunduran Berdemokrasi Di Indonesia.

Efriza melihat manuver yang dilakukan Jokowi lebih kepada rasa ragu bahwa Ganjar akan menang.

"Ini menunjukkan sosok capres dari partainya presiden tidak meyakinkan. Jokowi ragu Ganjar bisa memenangkan pemilihan presiden makanya Jokowi buru-buru menyatakan dirinya akan tidak netral. Semestinya biarkan Ganjar bekerja, jika memang dia layak untuk dipilih, ia akan dipilih oleh mayoritas masyarakat, jika gagal, pemerintah tak perlu khawatir karena ada mekanisme transisi pemerintahan. Dengan melakukan langkah untuk bersikap tidak netral akan mengesankan Presiden Jokowi bak sosok otoriter, pemilu juga  diragukan terkait luber-jurdilnya, karena adanya kepentingan pemerintah sehingga memilih bertindak tidak netral.

"Jokowi bukan haus kekuasaan tetapi ia khawatir hasil karyanya tidak dilanjutkan. Ia terperangkap oleh pikiran pribadinya yang berprasangka negatif terhadap sosok rival dari Ganjar Pranowo. Ia khawatir program seperti pembangunan infrastruktur, IKN tidak akan dijalankan oleh presiden terpilih. Apalagi Jokowi juga ragu dengan sosok Ganjar pasca yang diendorsenya malah menggagalkan penyelenggaraan Piala Dunia U-20. Tentu ini menunjukkan Jokowi tidak percaya Jokowi," ulas dosen Ilmu Politik ini.

Semestinya presiden Jokowi lebih berupaya mendekat dengan membangun komunikasi untuk transisi kepada para kandidat lainnya, bukan malah mengungkapkan akan bersikap tidak netral.

"Tentu saja ketidaknetralan pemerintah akan berdampak buruk. Reformasi telah dibawa mundur ke belakang. Presiden Jokowi terkesan dalam pernyataan tidak netral telah memberikan makna bahwa reformasi adalah hal yang tidak baik bagi demokrasi Indonesia sedangkan demokrasi yang terbaik adalah fasenya orde baru," tukasnya. 

Orde Baru terkesan telah melakukan hal yang benar ketika penyelenggaraan pemilu direcoki, diupayakan mengikuti apa maunya pemerintah. (*16) 

Terkini