LIPO - Pertemuan politik yang berlangsung di DPP PAN yang hadiri oleh Presiden Joko Widodo dan dua koalisi lainnya, yakni Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) pada Minggu (2/4/2023) tak hanya sebuah pertemuan politik semata.
Namun, ada kesepakatan yang hendak diraih bersama sesuai dengan pernyataan Prabowo Subianto Ketua Umum Gerindra bahwa sudah ada kesepakatan untuk meleburnya dua koalisi parpol tersebut menjadi koalisi besar. Yakni peleburan KIB dan KKIR untuk menghadapi Pemilu 2024.
Menurut Dr Sholeh Basyari Direktur Eksekutif Center for Strategic on Islamic and International Studies (CSIIS) hal ini sulit dibantah mengingat kuasa Jokowi bisa terjadi di balik penyatuan dua koalisi ini. Namun CSIIS membandingkan sikap yang berbeda antara PKB dan Gerindra yang berada dalam satu koalisi KKIR.
"Sulit dibantah, usulan koalisi besar KIB yang terdiri dari Golkar, PPP dan PAN dengan koalisi Gerindra dan PKB, bebas dr 'campur tangan' Jokowi. Menariknya respon Gerindra berbeda dengan PKB. Gerindra (baca Prabowo) antusias merespon koalisi besar ini. Sementara PKB, terlihat tidak bergairah," ungkap Dr Sholeh, Selasa (4/4/2023).
Ia juga melihat perbedaan respon dari PKB terhadap wacana koalisi besar ini. Mengingat peleburan koalisi ini tak menguntungkan PKB bahkan dianggap sebagai upaya untuk menyingkirkan PKB dari kompetisi Pilpres 2024. Terutama oleh rekan koalisinya Gerindra, yang sudah ada kesepakatan bahwa Cak Imin berada satu paket dengan Prabowo.
"Sejumlah hal bisa diajukan sebagai pengurai perbedaan sikap Gerindra dengan PKB, terkait koalisi besar ini. Pertama, representasi PKB tidak manifest dalam koalisi besar ini jika substansinya adalah penyingkiran Muhaimin Iskandar sebagai cawapres Prabowo," tukasnya.
Dan ia melihat tentang antusiasnya Prabowo atas wacana koalisi besar ini yang jelas merugikan posisi PKB. Sehingga kebijakan ini dinilai kurang tepat mengingat Gerindra dan PKB harus duduk satu meja membahas hal ini.
"Kedua Gerindra dan terutama Prabowo, idealnya menjamin koalisinya dengan PKB kokoh, sebelum buru-buru merespon antusias tawaran koalisi besar," kritik Sholeh.
Ia menilai respon Prabowo yang dianggap kurang tepat ini justru tidak sejalan dengan semangat koalisi yang sudah dibangun bersama PKB. Artinya keputusan ini tak boleh hanya sepihak diputuskan Gerindra, harus mengingat dan mempertimbangkan rekan satu koalisinya yakni PKB.
"Ketiga, wujud dari kokohnya koalisi Gerindra PKB adalah dengan segera menyetujui desakan PKB yakni Muhaimin sebagai cawapres Prabowo," tegas Sholeh.
Hal ini penting, mengingat kesepakatan koalisi KKIR duet Prabowo-Cak Imin sudah ideal dan patut untuk menuju Pilpres 2024. Dan ini juga sudah menguntungkan bagi Prabowo, ditambah dukungan suara yang sangat kuat dari warga NU dengan mencalonkan Muhaimin sebagai cawapres Prabowo. Namun, jika koalisi besar ini disetujui Prabowo, maka ia harus kembali melakukan kalkulasi politik. Karena tentu saja ia harus berhadapan dengan PKB.
"Keempat ada baiknya Gerindra 'membaca' ulang Cak Imin dengan bacaan yang lebih fair dan fresh. Bacaan ini bisa didasarkan pada survei terbaru PKB dan Cak Imin di posisi tiga besar partai pemenang serta lima besar capres. Tanpa melakukan bacaan ulang pada Cak Imin, koalisi yang digadang-gadang Prabowo mengantarkan ke istana, tak ubahnya seperti novel Muhktar Lubis: Jalan Tidak Ada Ujung," pungkasnya. (*16)